i know you’re sad, and that’s totally fine.

ty.
3 min readMay 14, 2021

--

“No, kata bunda motor kamu dimasukin aja.” ujar perempuan dengan baju tidur beruang kesayangannya, rambutnya acak-acakan, matanya sayu, sejak Jeno menangkap sosok itu pun dia sudah tau, gadis kesayangannya sedang tidak baik-baik saja.

“Nanti kalo mobil ayah mau masuk gimana?”

“Ayah lagi keluar kota, tuh mobilnya udah di dalem garasi.” ujar perempuan itu sambil mengadahkan kepalanya — bermaksud menunjukkan.

Jeno gak banyak berkomentar, motor ninja hitamnya itu ia masukkan kedalam pekarangan rumah, setelah selesai dengan urusan parkir memarkir ia segera turun dan mendekati gadisnya. Tanpa perlu diminta, si kesayangan itu sudah masuk kedalam pelukannya.

“Wangi…” itu kalimat pertama yang keluar, “aku suka banget deh sama wangi kamu.”

Jeno cuma tertawa kecil, pacarnya dalam mode manja adalah sesuatu yang Jeno suka.

“Kamu ngapain tiba-tiba kesini, mana ga bilang dulu ke aku.”

“Kan tadi aku bilang?”

“Yeeee itumah kamu bilangnya pas kamu udah di depan rumah!” Laki-laki dengan senyum seperti bulan sabit itu tertawa lagi, senang mengganggu kesayangannya.

“Abis pacarku seharian ini diem diem aja, aku kan jadi kangen.”

Sekarang, mereka yang sudah berada di dalam kamar sama-sama diam setelah Jeno mengucapkan tujuannya mengunjungi si kesayangan. Jeno masih belum mengeluarkan kalimat apapun, tapi tangannya tidak berhenti mengelus pucuk kepala kesayangannya itu.

Lima menit terlewati, dan akhirnya tangisnya pecah. Perempuan yang Jeno biasanya lihat tertawa sambil mengeluarkan candaan yang sering kali tidak jelas sekarang hanya bisa memeluknya sambil terisak.

Ruangan itu lengang. Hanya terisi tangisan yang sejujurnya Jeno sangat tidak suka. Karena melihat kesayangannya menangis seperti sekarang ini sangat menyakitkan untuknya.

Tidak ada kalimat penenang, tidak ada ucapan ‘gak apa-apa’, untuk sekarang Jeno hanya mengelus punggung ringkih yang mungkin kalau Jeno peluk lebih kuat lagi bisa rapuh, dan bagi perempuan yang sekarang berada dipelukan hangat Jeno itu, semua yang Jeno berikan untuknya sudah lebih dari cukup.

Detik demi detik terlewat, menit demi menit juga berlalu, tangisan itu pelan-pelan mereda. Saat si kesayangan menarik dirinya dari pelukan Jeno, ia langsung disambut senyum hangat pacarnya yang berbentuk bulan sabit itu.

“Makasih ya, No..”

“Kamu mau minum dulu gak? Biar aku ambil kebawah.”

“Gak usah…”

“Mau peluk lagi gak?” tawarnya, dibawanya lagi kesayangannya itu kepelukannya setelah menerima anggukan kecil. Pelukan yang ini, Jeno sengaja memeluk si kesayangan dari belakang.

“Kamu gak mau nanya aku kenapa?”

Jeno menggeleng, “tapi kalau kamu mau cerita ke aku, aku bakal dengerin.”

Itu menjadi hal yang paling perempuan itu sukai dari Jeno, ini sudah tahun ketiga dan Jeno masih selalu sama. Ia tidak banyak bertanya, tidak banyak juga berbicara, tapi ia selalu mengerti apa yang harus dilakukan.

“Kalau aku bilang aku capek…kamu bakal ketawain aku gak?”

Kedua alis matanya menggerut, menunjukkan bahwa ia kebingungan, “kenapa aku bakal ketawain kamu?”

“Karena aku gak ngapa-ngapain…tapi bisa-bisanya capek…aneh ya aku?”

“Gak aneh sayang…”

Perempuan itu terdiam lagi, kali ini sambil memainkan jari-jari Jeno.

“Capek kan wajar…” ujar Jeno, “bisa aja kamu gak ngapa-ngapain secara fisik, tapi ini…” dielusnya kepala perempuan itu dengan satu tangannya yang lain, “yang ini kan bisa aja kerja terus-terusan, kamu ajak mikir terus…apalagi kalau mikirnya yang jelek-jelek, bisa jadi sepuluh kali lipat capeknya.”

Tidak ada jawaban.

“Gapapa….”

Perempuan itu hanya menghela napas, digigitnya kuku-kuku jarinya — kebiasaannya setiap kali cemas.

“Jangan digigit ah kukunya, nanti rusak.” Pelan-pelan Jeno tarik tangan kesayangannya itu dan dielusnya. “Kalo aku elus elus gini kan lebih nyaman dari pada di gigit.”

Badan yang dipeluk itu bergetar, ia menangis lagi.

“Aku capek sedih..”

“Bingung, No…”

“Semuanya kaya kecampur aduk jadi satu…” racau perempuan itu.

“Kalau capek, istirahat dulu…”

“Gak selamanya kamu harus lari…”

“You are sad, and that’s totally fine…”

“Tapi capek sedih terus, gak pengen sedih lagi, pengen happy, No…tapi sedihnya gak mau hilang.”

“Dinikmatin sedihnya, diajak ngobrol, coba kamu pikirin lagi…apasih yang bikin kamu sedih…ajak ngobrol yang bikin sedih terus kalau udah…ajak dia damai…biar abis itu gak sedih lagi.”

“Aku gak tahu persis yang kamu rasain kaya gimana, tapi yang sekarang kamu alamin, pasti bakal lewat kok.”

Kesayangannya masih diam. Hanya deru nafas yang terdengar.

“Kalau gak lewat-lewat juga gak papa, kamu punya aku yang bakal temenin kamu terus.”

Pelukannya bertambah erat.

“Aku punya kamu ya, No?”

“Kamu punya aku, pelukan ini juga punya kamu, kapanpun kamu butuh aku siap ngasih ini ke kamu.”

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

ty.
ty.

No responses yet

Write a response